Sunday, August 16, 2009

Pijatan Bi Eci



Menjelang akhir kuliahku di Bandung aku tinggal di daerah Dipati Ukur, mengontrak bersama 3 orang temanku. Karena sibuk dengan tugas akhir aku sudah jarang bertemu dengan Tante Nita maupun teman-temannya. Terakhir aku berkencan dengan Tante Nita sebulan yang lalu. Saat itu ketiga temanku pergi berlibur ke Jakarta selama 3 hari, lalu aku sengaja mengundang Tante Nita untuk datang ke rumahku. Selama dua hari berturut-turut Tante Nita datang sambil membawa makan siang dan selajutnya kami melepaskan kerinduan syahwat kami sepuasnya hingga malam hari. Tante Nita belum mau pulang kalau aku belum orgasme tiga kali.

Sebulan tidak menyentuh seorang wanitapun rasanya sungguh berat bagiku, tapi aku beruntung bisa mengalihkannya dengan berkonsentrasi dalam kesibukan menyelesaikan tugas akhir. Di rumah kami tidak ada pembantu, hanya ada Bi Eci yang setiap hari datang untuk mencuci baju. Bi Eci ini sangat baik, meski kami hanya membayarnya untuk mencuci baju tidak jarang dia juga ikut membereskan dan membersihkan rumah. Bi Eci asli Sukabumi, usianya sekitar 35 tahun dan suaminya bekerja sebagai sopir di Jakarta. Meski sudah memiliki 3 orang anak Bi Eci tidak tampak gemuk, mungkin karena dia banyak bekerja dan juga pintar merawat tubuhnya. Wajahnya khas Sunda, cantik dan kulitnya putih. Aku dan teman-temanku kadang-kadang suka menggodanya, tentu dalam batas-batas yang wajar sehingga Bi Eci juga tidak tersinggung.

Suatu hari Bi Eci datang kepadaku, dia mengeluh suaminya belum pulang-pulang sudah 2 bulan dan dia butuh uang untuk bayar sekolah anaknya. Aku memberinya pinjaman Rp 200.000,- dari uang tabunganku. Untuk ukuran waktu itu jumlah tersebut cukup besar, kira-kira setengah jumlah kiriman bulananku. Bi Eci berjanji mengembalikannya kalau suaminya sudah pulang nanti, aku sih setuju aja.

Sudah sebulan berlalu, aku sebenarnya tidak terlalu memikirkan uang yang dipinjam oleh Bi Eci karena tidak pernah kuanggap sebagai sebuah pinjaman. Tapi Bi Eci tampaknya tidak merasa enak hati karena sudah sebulan lebih suaminya masih juga belum ada kabar.

"Duh, aden... bibik minta maaf belum bisa mengembalikan pinjaman bibik..."
"Ah, udah bik, nggak usah dipikirin, itu buat bibik aja...."
"Jangan den..., bibik nggak enak..."

Aku mencoba menjelaskan kalau uang itu aku anggap sebagai bonus karena dia mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain selain mencuci, tapi Bi Eci tetap tidak mau.

"Ya udah deh, bibik bisa bayar dengan cara lain, nggak usah harus pake duit..."
"Gimana den...?"

"Gini bik..., bibik bisa mijitin saya nggak?"
"Oh.. kalau cuma mijit sih bibik bisa aja den, tapi enak apa enggak bibik nggak tau soalnya bibik cuma pernah mijit suami bibik aja..."
"Ah, nggak apa-apa bik, yang penting bibik mijitnya serius, nggak setengah-setengah, pasti enak...., sekali mijit saya itung 25 ribu gimana..."

Bi Eci setuju, kami lalu masuk ke kamar dan menutup pintu, kebetulan pada waktu itu cuma ada aku saja di rumah. Aku berbaring tengkurap di tempat tidur dan Bi Eci mulai memijatku. Mulanya Bi Eci agak canggung karena berdua sekamar denganku, tapi lama-kelamaan dia mulai terbiasa. Pijatannya lumayan enak dan membuatku merasa nyaman sekali. Sambil memijit Bi Eci mulai curhat soal suaminya yang nggak pulang-pulang.

"Wah, terus bibik kesepian dong....," kataku mulai memancing-mancing.
"Yah, resiko den..., untung ada anak-anak jadi bibik nggak terlalu kesepian."
"Maksud saya kalau malam gimana? Bibik sendirian terus dong..."
"Ah aden ini....," katanya sambil mencubit pantatku.
"Jujur aja bik, emangnya bibik nggak kepengen begituan...."
"Ih... bibik masih normal den, ya pengen juga..."

"Ya udah, gini bik... tiap mijit saya itung 100 ribu tapi bibik mijitnya ekstra ya... persis seperti kalau bibik mijit suami bibik gitu...ada tambahannya," kataku memancing lebih lanjut.
Sejenak Bi Eci terdiam dan memandangku, "Aden pengen ya....kalau aden pengen bibik sih mau aja...," kata Bi Eci setengah berbisik di telingaku.

Aku cuma tersenyum, Bi Eci lalu bangkit keluar kamar untuk memastikan pintu rumah sudah terkunci kemudian dia masuk kembali dan mengunci pintu kamarku. Dia mulai melepas bajunya sehingga yang tertinggal hanya BH dan celana dalamnya saja. Sekarang kami berdua sama-sama hanya mengenakan pakaian dalam saja. Bi Eci membalikkan badanku dan tangannya masuk ke celana dalamku, dia meremas-remas penisku yang perlahan-lahan mulai membesar. Tampaknya Bi Eci benar-benar sedang mempraktekkan apa yang dilakukannya setelah memijat suaminya. Di pelorotkannya celanaku, dan dia langsung menjilat-jilat penisku lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Tidak kusangka Bi Eci yang sehari-hari hanya tukang cuci ini cukup pandai dalam melakukan oral-sex.

Aku tidak tinggal diam, tanganku mulai menggerayangi selangkangan Bi Eci, jari-jariku mulai masuk ke dalam lubang vaginanya yang basah sambil mengusap-usap klitorisnya. Bi Eci tampak keenakan, dia langsung melepas celana dalam dan BHnya sehingga kami berdua betul-betul telanjang bulat. Bi Eci kembali melumat penisku dengan ganas, sementara tanganku terus menggerayangi vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat. Tampaknya Bi Eci mulai tidak tahan dan dia berusaha melepaskan tanganku dari vaginanya, "Masukin aja itunya den, ke punya bibik..."

Bi Eci lalu berbaring telentang dengan wajah penuh harap. Akupun sudah sangat terangsang dan penisku sudah sangat tegang. Tapi aku tidak langsung memasukkan penisku ke vaginanya, aku mulai meremas-remas payudara Bi Eci yang montok dengan puting yang besar. Kemudian mulutku mulai melumat dan menghisap-hisap buah dada yang ranum itu dengan penuh gairah. Bi Eci makin terangsang dan terus mendesah-desah, "Den... masukin sekarang den... bibik nggak tahan..."

Bi Eci lalu membuka pahanya lebar-lebar sehingga lubang vaginanya samar-samar tampak terbuka di balik bulu-bulunya yang lebat. Aroma vagina Bi Eci membuat aku semakin tidak sabar ingin memasukkan penisku ke dalamnya. Aku lalu memposisikan diriku di antara kedua pahanya, perlahan-lahan kusibakkan bibir vaginanya dan kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sudah teramat basah.

"Mmhh... den... ," Bi Eci merintih dengan berbisik, menjaga supaya suaranya tidak terdengar ke luar kamar. Aku mulai menggoyangkan penisku naik turun memasuki vagina Bi Eci yang hangat dan basah. Bi Eci yang sudah berbulan-bulan tidak disentuh suaminya tampak sangat menikmati tusukan-tusukan penisku. Aku merasakan otot vagina Bi Eci seperti meremas-remas penisku dengan ganas. Sementara itu tangan Bi Eci tampak meremas kasur untuk menahan rasa nikmat yang menjalari seluruh tubuhnya, matanya tampak terpejam meresapi nikmat.

"Bi, saya lupa mau pake kondom dulu, nanti takut keluar di dalam bisa gawat..."
"Nggak apa-apa den, bibik pake KB kok..., nggak usah pake kondom, keluarin aja di dalam kalau aden mau keluar....," katanya sambil mencegahku mengeluarkan penis dari dalam vaginanya.

Aku terus menusukkan penisku dalam-dalam sambil tanganku meremas-remas payudara Bi Eci. Akhirnya aku merasakan gerakan Bi Eci makin ganas dan mulai tidak beraturan, tangannya mulai meremas-remas pantatku seolah memintaku untuk menusukkan penis lebih dalam lagi sementara pinggulnya memagut-magut pinggulku dengan kuat. "Mmhh...mmhh...den....bibi sudah keluar...."

Kami berhenti sejenak, tetap dalam posisi aku menindih Bi Eci yang terlentang tak berdaya. Aku memberi kesempatan Bi Eci menikmati orgasmenya yang pertama setelah berbulan-bulan....

"Enak bik...?" tanyaku, Bi Eci hanya mengangguk malu-malu. Tak lama kemudian Bi Eci kembali menggoyang-goyangkan pinggulnya, akupun lalu merespon dengan kembali menancapkan penisku ke dalam vaginanya berulang-ulang. Setelah beberapa menit berlalu aku merasakan gelombang orgasme mulai terbentuk.

Aku mempercepat tusukanku, "Bi, kayaknya saya mau keluar...."
"Mmhh... bibik juga... keluarin di dalam den..."
"Agghh...mmhh.... bik.....saya keluar..."
"Mmhh...iya den....bibik juga keluar lagi.....uuhh..."

Aku menusukkan penisku dalam-dalam sambil menumpahkan seluruh isi spermaku berkali-kali ke dalam liang vagina Bi Eci sementara itu Bi Eci dengan kuat memeluk tubuhku dan matanya terpejam menahan nikmat. Akhirnya aku merebahkan diri di samping Bi Eci yang tampak lemas melepas rasa puas. Kulihat cairan putih mulai meleleh dari lubang vagina Bi Eci.

Setelah rasa lelah mulai hilang kami bangkit dan berpakaian. Bi Eci tampak malu-malu menyadari apa yang telah kami perbuat, dia agak salah tingkah.

"Bik, pijatan spesialnya enak banget...maksud saya burung saya dipijat memek bibik, saya jadi ketagihan...."
"Ah, aden... bibik jadi malu, bibik baru pertama kali dengan laki-laki lain..."
"Bibik suka...? Kapan bisa pijit saya lagi...?"
"Terserah aden, kapan aja bibik sih nggak masalah asal jangan ketahuan yang lain, bibik malu...."
"Terus, kalau utang bibik udah lunas bibik masih mau pijit saya lagi...? Saya betul-betul ketagihan bik...."
"Hi..hi...hi... terserah aden, kapan aden mau tinggal bilang aja....., nggak usah diitung bayar utang segala...."

Akhirnya Bi Eci berpamitan pulang setelah berjanji melakukan lagi besok saat teman-temanku tidak ada di rumah. Aku bilang sama Bi Eci kalau besok gantian Bi Eci yang di atas, Bi Eci cuma menjawab dengan tersenyum nakal.