Tuesday, July 29, 2014

Kristin - Agen Properti Yang Cantik



Pagi itu aku ke kantor dengan perasaan riang gembira. Suasana di kantorku memang hari-hari belakangan ini agak ceria. Maklum perusahaan kami baru saja menang tender proyek yang lumayan besar di daerah Indonesia Timur. Sudah dipastikan semua staff dan karyawan bakal mendapat bonus tahunan yang lumayan akhir tahun nanti.

Kira-kira jam sembilan Mbak Amy, sekretaris bos, masuk ke ruanganku.

"Mas Doni, nanti jam sepuluh diminta ke ruangan Pak Herman ya... katanya penting..."
"Ok mbak, terima kasih... nanti saya kesana.."

Pak Herman bosku terkenal sangat disiplin, kalau dia bilang jam sepuluh, jangan pernah berani datang lewat satu menitpun. Maka kira-kira jam 09.55 aku sudah siap di depan ruangannya. Melihat aku datang Mbak Amy langsung menelpon Pak Herman,

"Mas Doni, langsung masuk aja, sudah ditunggu..."

Aku segera masuk, Pak Herman mempersilahkan aku duduk sementara dia masih menelpon istrinya. Setelah berbasa-basi sejenak menanyakan pekerjaan-pekerjaanku Pak Herman langsung mengutarakan maksudnya.

"Kamu dulu lama di Bandung ya..."
"Iya pak, dulu waktu kuliah... ada yang bisa saya bantu pak...?"
"Begini.. ibunya anak-anak pengen beli rumah di Bandung... kamu bisa bantu carikan?"
"Oh siap pak... mau di daerah mana dan kira-kira budget-nya berapa..."
"Coba kamu carikan di daerah Setiabudi atau Dago Atas.. pokoknya yang hawanya masih sejuk tapi akses ke kota nggak susah, terserah kamu, pasti lebih tahu.... kalau soal budget antara 4 sampai 5M gitu.."
"Siap pak, nanti hari Sabtu saya ke Bandung..."
"Jangan khawatir, ini bukan kerja bakti... nanti kalau sudah deal ada komisinya 2% buat kamu... sementara, ini kamu terima dulu buat pegangan selama di Bandung... kamu pasti perlu buat hotel dan transport... kalau kurang tinggal kamu kontak Amy biar ditambah... Ok..?"

Setelah menerima amplop dari Pak Herman aku meminta ijin untuk kembali ke ruanganku. Amplopnya cukup tebal juga, di luar ruangan Mbak Amy menggoda aku,

"Wah bisa nih ikutan makan siang..."
"Ok... siapa takut?...Nanti siang kita ke foodcourt ya...?"

---------------------

Pagi itu aku meluncur ke Bandung sendirian. Aku sudah menyiapkan daftar kandidat rumah-rumah yang sedang di jual, hasil browsing di internet dan iklan-iklan baris di koran. Rupanya ini pekerjaan yang cukup melelahkan karena aku harus melihat langsung kondisi rumah yang dicari. Pak Herman memang mempercayakan semua kepadaku tapi ia tidak mau kalau aku memberinya pilihan cuma berdasarkan foto atau iklan saja.

Setelah berkeliling melihat-lihat beberapa alternatif, akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah rumah di daerah Setiabudi. Aku yakin sekali ini pilihan terbaik dan cocok dengan keinginan Pak Herman. Malam itu aku segera menghubungi kembali agen penjualnya, Kristin.

"Hallo Kristin, ini saya... Doni..., yang tadi siang lihat rumah yang kamu tawarkan..."
"Oh iya.. bagaimana pak.. sudah cocok..."
"Yah... mungkin... bagaimana kalau saya besok mau lihat lagi rumahnya, sambil kita bicara lebih detail soal harga atau kondisi-kondisi lainnya?"
"Ok pak, besok kita ketemu dimana?"
"Sambil aku traktir sarapan aja gimana? Di Pizza Hut yang di dekat Cipaganti sekitar jam sembilan pagi..."
"Baik pak...sampai ketemu besok..."

Esoknya seperti rencana semalam, kami bertemu di Pizza Hut. Kristin tampak cantik dan sangat ceria. Tidak seperti kemarin, hari ini Kristin banyak sekali bercerita tentang dirinya  Kelihatan sekali suasana hatinya sedang enak. Dia baru kerja dua bulan di bisnis properti dan belum satupun berhasil menjual rumah. Tapi kali ini dia punya harapan besar kalau bisa melakukan penjualan.

Dari penuturannya dia seorang fresh-graduate, baru lulus S-1 bidang ekonomi 6 bulan yang lalu. Sambil menunggu pekerjaan yang lebih cocok dia merintis karir di bidang properti. Kristin keturunan chinese, tingginya sekitar 160cm dengan ukuran tubuh yang sedang-sedang saja, kulitnya putih mulus seperti kebanyakan wanita chinese di Bandung, rambutnya lurus sebatas bahu, wajahnya manis dan punya lesung pipi kalau tersenyum.

Setelah aku membayar bill kami segera meluncur ke rumah yang ditawarkan. Di perjalanan Kristin terus mempromosikan rumah yang akan dijualnya. Kujelaskan kepadanya kalau yang berminat membeli rumah tersebut adalah bosku, tapi aku diberi kuasa penuh untuk memilihkan rumah yang cocok.

"Saya jamin deh pak.. bos bapak tidak akan kecewa, ini rumah pernah disewa orang bule selama 3 tahun.. tahu aja pak... orang bule nggak akan mau kalau rumahnya jelek... dan semuanya terawat baik, sudah direnovasi dan dicek semua nggak ada masalah.... nanti pak Doni lihat sendiri, rumahnya bersih luar dalam.. lantai duanya juga bagus sekali, ada teras di bagian belakang buat keluarga duduk-duduk santai sambil lihat pemandangan bagus... meskipun sekarang kosong, setiap hari ada orang yang membersihkan rumah dan halaman. Kalau soal harga, asal sudah serius nanti bisa nego langsung dengan yang punya, untuk sementara dia buka harga 4.7 M dulu lengkap dengan semua isinya..."

Aku hanya mendengarkan saja semua omongannya, dalam pikiranku Kristin sudah sangat berharap besar dia bisa melakukan penjualan perdana kali ini. Pasti dia mau melakukan apapun supaya berhasil, apalagi sudah dua bulan lamanya dia kerja keras tanpa memperoleh hasil apa-apa.

---------------

Kami sampai di rumah yang ditawarkan sekitar jam 11 siang dan langsung masuk ke dalam. Kemarin meskipun juga sampai ke dalam, aku memang hanya melihat sekilas saja karena tidak punya waktu lama. Tapi hari ini aku punya kesempatan untuk melihat lebih detail. Memang ucapan Kristin tidak berlebihan, rumah tersebut kondisinya sangat baik dan terawat. Halamannya cukup luas dan lokasinya juga sudah cocok dengan keinginan pak Herman.

"Kalau jam 11 yang beresin rumah sudah pulang pak, biasanya cuma sampai jam 10 pagi...."

Kurang lebih satu jam kami berkeliling di rumah tersebut memeriksa semua ruangan dan perabotan, semuanya memang bagus. Pak Herman pasti akan merasa beruntung bisa membeli rumah ini. Tapi aku berpikir bisa mendapatkan lebih dari sekedar komisi yang dijanjikan Pak Herman, mungkin Kristin bisa memberikan sesuatu kepadaku... Akhirnya kami beristirahat di teras lantai dua, duduk santai sambil menikmati hembusan angin segar di utara kota Bandung.

"Semuanya bagus, mudah-mudahan bos saya tertarik, tinggal keputusannya nanti apa mau mengambil rumah ini atau yang di Dago..." aku sengaja mulai memancing-mancing kekecewaan Kristin.
"Oooh.. jadi masih ada pilihan lain ya pak... saya kira sudah mantap mau yang ini....," terdengar suara Kristin seperti kecewa sekali, raut mukanya tampak berubah 180 derajat dan tubuhnya terlihat lemas.
"Tidak usah khawatir, saya akan rekomendasikan ke bos... tapi bagaimanapun pilihan bukan di saya.. bos yang punya duit.."
"Bantu Kristin dong pak... Kristin sudah dua bulan belum jual satu rumah juga.... ini harapan buat Kristin, bantu ya pak... khan katanya bapak yang diberi kuasa untuk menentukan mana rumah yang mau dibeli... ayolah pak....yakinlah rumah ini bagus... harganya juga masih bisa nego.. bos Pak Doni nggak akan kecewalah..."
"Ya saya bisa mengerti, tapi coba deh Kristin yakinkan saya, terserah bagaimana caranya, supaya saya merekomendasikan rumah ini ke bos...," kataku pura-pura bersimpati sambil memegang tangannya. Kristin terdiam, matanya menerawang jauh, tampaknya dia sedang berpikir keras.

"Pak Doni... bapak bantu Kristin supaya bos bapak beli rumah ini, nanti Kristin bagi sebagian komisi yang Kristin dapat, lumayan lho pak... bagaimana?"
"Ah... jangan, Kristin pasti butuh uang itu, lagipula saya juga sudah ada komisi dari bos...janganlah.. nggak adil rasanya kalau saya masih minta bagian komisi lagi dari kamu," kataku sambil meremas tangannya. Kristin kembali terdiam, tapi tampaknya dia mulai punya harapan melihat aku membuka diri untuk tawar-menawar. Wajahnya sedikit cerah dan matanya mulai berani memandangku dengan tatapan nakal menantang... Kemudian Kristin mendekatkan wajahnya.

"Gini aja pak.. nanti kalau bos pak Doni jadi beli rumah ini....mmm..... kita weekend ke Bali mau pak...? Terserah pak Doni mau ngapain aja.... Kristin yang traktir semua... kita menginap di Legian, " katanya dengan suara perlahan sambil tangannya menarik tanganku ke arah payudaranya. Aku agak terkejut dengan tantangan Krstin yang langsung to the point. Aku tidak menjawab, aku hanya menatap wajahnya sambil mulai meremas-remas payudaranya. Mata Kristin terpejam dan nafasnya mulai terdengar berat. Tak berapa lama kemudian Kristisn membuka matanya,

"Bawa kondom pak...? Kita lanjutin di kamar bawah yuk...?"
"Oh.. ada di mobil, sebentar aku ambil ya....?"

--------------

Kami berdua segera turun ke bawah, aku keluar menuju mobil untuk mengambil kondom sementara Kristin mempersiapkan kamar. Di dalam kamar kulihat Kristin sudah melepaskan baju atasan dan roknya, tubuhnya mulus sekali. Payudaranya yang tadi sempat kuremas tampak masih kencang di balik BH-nya.

Langsung kudekap badannya dari arah belakang dan kuciumi dengan lembut lehernya yang jenjang. Tubuhnya yang putih, mulus, wangi dan terawat baik membuatku tidak ingin melepaskannya. Tangan kiriku meremas payudara di balik BH-nya sementara tangan kananku masuk ke celana dalamnya. Kurasakan jariku menyentuh vaginanya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat, belahannya terasa sudah basah, klitorisnya juga licin dan kenyal. Kristin mendesah-desah menahan nikmat sementara tangannya berusaha meraih penisku dan meremas-remasnya.

"Buka bajunya sekarang sayang.. aku sudah horny..." katanya sambil melepas BH dan celana dalamnya. Tanpa membuang waktu lagi aku juga langsung melepaskan seluruh pakaianku. Kristin kemudian berbaring di tempat tidur kingsize. Aku sempat tertegun sejenak, terpesona melihat kemolekan tubuh gadis belia ini, Tanpa sadar aku mengusap-usap penisku sendiri yang sudah mulai tegang. Melihat aku terdiam dan mempermainkan penisku sendiri, Kristin memberi isyarat dengan tangannya supaya aku segera ikut dengannya ke tempat tidur, "C'mon honey... I'm ready...."

Aku menghampiri Kristin, tangannya dengan cekatan meraih penisku dan memasukkannya ke dalam mulut. Kristin mengulum penisku dengan penuh birahi, kadang lidahnya menjilat-jilat dari pangkal sampai ujung. Tanganku tidak tinggal diam, melanjutkan apa yang tadi sempat kulakukan, kembali tanganku mempermainkan vaginanya. Dua jariku bergerak keluar masuk liang vaginanya sementara jempolku mempermainkan klitorisnya. Kristin mendesah keenakan sambil terus menjilati dan mengulum penisku. Aku gerakkan tanganku makin kuat sehingga membuat Kristin menggelinjang keenakan dan cairan vaginanya menetes keluar. "Oooh..mmmhh... mau pakai kondomnya sekarang sayang...?" Kristin kelihatan sudah mulai tidak tahan.

Begitu kondom selesai kukenakan Kristin langsung mendorongku. Aku pasrah dan menurut saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kristin mengambil posisi di atas dan mengarahkan penisku ke dalam vaginanya. Perlahan dia turunkan pinggulnya sehingga penisku masuk ke dalam vaginanya yang sudah basah. Uh gila... vaginanya sempit sekali... seperti masih perawan. Untung saja cairan vagina Kristin yang keluar cukup banyak sehingga penisku bisa lancar masuk ke dalam meski seperti dijepit rasanya. Kristin menekan pinggulnya dengan kuat ke bawah sehingga penisku menyentuh ujung vaginanya dan membuat Kristin setengah menjerit "Aagh..."

Mata Kristin terpejam dan mulutnya terus mendesah-desah sementara pinggulnya bergerak turun-naik dengan cepat. Ketika tanganku mulai mempermainkan payudara dan putingnya, Kristin makin lama makin menggila, kedua tangannya mencengkeram apapun yang bisa diraihnya. Kadang tangannya meremas kedua lengaku, kadang mencengkeram kasur tempat tidur, Kristin makin tidak bisa mengendalikan dirinya. Sensasinya sungguh luar biasa.

Dengan ritme cepat sepeti ini rasanya Kristin tidak akan bertahan lama. Benar saja, hanya butuh waktu kurang dari 7 menit Kristin mulai menggelinjang hebat dan menjerit meluapkan orgasmenya, "Aggh...ooh... aaaaaaaagh....." Tubuhnya yang mulai basah oleh keringat langsung terkulai lemas di atas tubuhku. Kubiarkan Kristin beristirahat merasakan sisa-sisa kenikmatan orgasmenya selama beberapa saat sementara penisku masih keras tertancap di dalam vaginanya.

Tubuh gadis cantik yang putih dan mulus, yang tergolek di atas tubuhku, membuatku tergoda untuk melanjutkan. Kucumbu lembut bibirnya dan kubelai mesra rambutnya. Kristin merespon dengan mulai melumat bibirku dengan bibirnya yang tipis. Perlahan-lahan kulepaskan tubuh Kristin dan kubaringkan dia di sampingku. Kini gantian aku yang di atas, kusibakkan pahanya dan tampak belahan vagina Kristin yang basah sedikit membuka. Indah dan sungguh merangsang.

Langsung kubenamkan penisku yang masih keras ke dalam lubang vagina Kristin yang sudah menanti dipuaskan lagi. "Ooohh...," Kristin kembali mendesah saat penisku tertancap dalam di vaginanya. Kugoyangkan pinggulku naik-turun sambil berputar-putar dengan irama yang cepat sehingga membuat Kristin kembali menggelinjang. Tangannya mencengkeram keras punggungku. Rasanya kukunya melukai punggungku, tapi tidak begitu kupedulikan karena kenikmatan yang kurasakan dari jepitan vaginanya jauh melebihi semua rasa. Akhirnya puncak kenikmatan mulai mendekati kami, kupeluk Kristin erat-erat.

"Kristin... aku mau keluar sekarang sayang...mmmhhh... oooh.."
"Iya sayang... keluarin aja... Kristin juga mau keluar lagi... aaggghhh...ooh.... aaaaghhh"
"Agh.... Kristiiin...oooohhh...."
"Aaggh... I'm cummiiiiiiing honeyyyy....ooohhhh..."

Vagina Kristin terasa menjepit hebat penisku saat spermaku muncrat berkali-kali. Setelah gelombang orgasme luar biasa yang kami rasakan mulai mereda kami berpelukan melepas lelah. Kristin mengecup lembut bibirku dengan ringan.

"Enak sayang....?"
"Iya Kristin... kamu luar biasa...."
"Kita bisa begini lagi di Bali nanti.... mau khan?" katanya merayu dengan manja.
"Mau doong... aku usahain jadi deh..."
"Nah... gitu dong sayang... nanti aku servis yang lebih lagi... semalaman...."
"Beneran ya...? Tapi kalau akhirnya tetap nggak jadi juga gimana sayang...," kataku menggoda.
"Hmmm... ya boleh aja kita ke Bali... tapi kamu yang bayarin ya...," katanya sambil tertawa.

Tidak terasa hari sudah menunjukkan jam tiga sore ketika kami keluar dari rumah itu dengan perasaan puas. Aku mengantarkan Kristin pulang ke rumahnya di daerah Pasteur dan selanjutnya akupun langsung meneruskan perjalanan kembali ke Jakarta.

Seperti yang sudah kuduga, Pak Herman akhirnya setuju membeli rumah yang kupilihkan. Dia dan istrinya sangat puas. Aku sendiri sudah tidak ikut lagi ke Bandung untuk urusan itu. Tidak lama setelah proses jual-beli selesai Kristin menelponku menanyakan kapan aku punya waktu untuk weekend ke Bali. Dia bilang kalau bisa berangkat barengan dari Bandung hari Jumat malam supaya bisa menginap dua malam di Bali. Wow, ini pasti akan menjadi weekend yang luar biasa...


Sunday, July 27, 2014

Semalam Bersama Trainer Cantik



Setelah beberapa bulan aku bekerja di Jakarta, aku diutus oleh perusahaan untuk mengikuti workshop pengenalan produk-produk baru yang diadakan di daerah Puncak. Kami akan bermalam disana selama tiga hari bersama sekitar 30 peserta lain dari perwakilan kantor cabang di kota-kota lain. Dari kantorku yang diutus dua orang: aku dan Sinta. Buatku kegiatan ini tentu menjadi selingan yang menyenangkan dari pekerjaan rutin sehari-hari yang melelahkan.

Selama pelatihan peserta ditempatkan di hotel yang cukup nyaman, sekamar berdua. Tentu saja aku tidak dengan Sinta tapi dengan peserta pria lain, Joko wakil dari cabang kota Jogja. Secara umum pelatihan berjalan dengan menyenangkan, presentasi produk-produk baru dengan berbagai fitur yang canggih membuat peserta terus tertantang untuk mengikuti workshop hingga akhir. Tapi buatku yang paling menarik bukan itu, melainkan Ibu Dian, trainer cantik yang sekaligus manajer cabang di kota Semarang. Untuk ukuran wanita Ibu Dian cukup tinggi, mungkin sekitar 165cm, dengan postur tubuh yang sedang, tidak kurus dan tidak gemuk, bentuk payudaranya juga sedang-sedang saja. Taksiranku usianya kurang lebih sekitar 35 tahun. Tapi dari awal aku suka sekali dengan sikapnya yang anggun, cara bicaranya yang tegas tapi lembut, dan tentu saja wajahnya yang manis dan kulitnya yang putih. Semua peserta pria yang aku tahu setuju kalau Ibu Dian adalah primadona di workshop ini. Tapi statusnya sebagai seorang manajer dan sekaligus trainer di workshop ini membuat tidak ada yang berani bersikap kurang ajar kepadanya.

Kalau Ibu Dian memberikan presentasi, aku merasa semangat sekali, selalu aku berusaha mencari perhatiannya dengan banyak bertanya. Setiap kali 'break' aku selalu berusaha mendekati Ibu Dian dan mengobrol dengannya, mulai dari materi pelatihan sampai ke masalah-masalah lain. Setiap ada kesempatan aku mencoba memuji dan menyanjungnya, tentu dengan cara yang sehalus mungkin supaya tidak terkesan dibuat-buat dan sekedar cari perhatian. Siapa wanita yang tidak suka dipuji dan dikagumi? Akhirnya upayaku membuahkan hasil, aku dan Ibu Dian menjadi dekat, kami selalu menyempatkan ngobrol berdua setiap ada kesempatan. Ibu Dian dengan bangga menunjukkan foto-foto ketiga anaknya, yang tertua kelas 2 SMP dan yang terkecil masih kelas 3 SD... Tampak dia sangat sayang sekali dengan ketiga anaknya. Tapi tidak terlihat foto suaminya sama sekali.

"Foto bapaknya anak-anak mana bu...?" tanyaku.
 "Mm..kami sudah hampir tiga tahun ini cerai... sekarang jadi single-parent..."
"Oh maaf bu...."
"Ah nggak apa-apa...awalnya memang berat tapi lama kelamaan ya biasa aja kok..."
"Tapi saya juga lega bu... kalau saya dekat dengan ibu seperti sekarang nggak perlu takut ada yang cemburu ya bu..." kataku setengah bercanda.
"Maksud kamu apa..." tanya Ibu Dian dengan mata menggoda.
"Mmm...anu..mungkin saya bisa lebih dekat lagi dari yang sekarang ya bu he..he..he..."
"Ah kamu ini..banyak yang masih muda dan cantik kok malah mau dekat dengan yang lebih tua dan sudah punya anak tiga...ada-ada aja..., kamu tahu nggak, kalau saya perhatikan ada peserta yang sepertinya suka sama kamu, .itu tuh..yang rambutnya pendek...kalo gak salah namanya Sinta.."
"Oh..Sinta... dia itu teman kantor saya bu... kami memang dekat karena satu divisi tapi dia sudah ada suaminya, saya nggak mau ganggu dialah...nanti bisa panjang urusannya...."
"Oh I see....saya kira...hmm... kamu sendiri gimana...jangan-jangan sudah punya dua istri..."
"Ah ibu ini...saya pacar aja nggak punya..."
"Beneran nih...kalau gitu kita bebas yaa...he..he..he..," Ibu Dian tertawa kecil sambil mencubit lenganku, aku pura-pura kesakitan.
"Oh iya... supaya kita tambah akrab, kamu jangan panggil saya ibu kalau sedang berdua seperti ini... biar nggak kaku,,,panggil Dian aja ya...kalau di depan orang-orang atau di acara workshop aja kamu panggil saya ibu..."
"Ok deh bu..eh...Dian..."

----------------

Hari ini adalah hari terakhir pelatihan, jam 7 malam workshop ditutup dengan bagi-bagi sertifikat dan berfoto bersama. Setelah itu acara bebas sebelum kami pulang ke kota masing-masing esok hari. Setelah makan malam Joko, Sinta, dan teman-teman lain mengajakku ke diskotik. Mereka tahu kalau aku sedang dekat dengan Ibu Dian, "Ajak Ibu Dian sekalian biar kita hepi-hepi..." kata Joko. Tapi Ibu Dian tampaknya tidak begitu menikmati acara dugem semacam itu. "Ah..enggak ah aku lagi males... kami mau ngobrol di cafe aja..." kataku menolak halus.

Sampai jam 10 malam kami masih asyik ngobrol di cafe, semua peserta workshop sudah tidak ada lagi, hanya ada beberapa pasangan dan tamu hotel di cafe tersebut. Rasanya Ibu Dian semakin cantik dan menggairahkan malam itu. Dingin udara Puncak yang menusuk tidak terasa, tertutup oleh hangatnya pembicaraan kami. Pada beberapa kesempatan aku coba memancing-mancing suasana dengan mengungkapkan secara halus kalau aku menginginkan yang lebih dari biasanya. Ibu Dian tampaknya memberi sinyal kalau diapun demikian. Sebagai seorang janda yang sudah lama berpisah dari suami sangat normal kalau Ibu Dian menginginkan interaksi yang intim dengan lelaki.

Setelah aku benar-benar yakin Ibu Dian juga menginginkan hal yang sama dengan apa yang ada di benakku, aku beranikan untuk melangkah lebih jauh, Aku genggam tangannya dengan lembut, kuusap-usap punggung tangannya, "Dian..kamu cantik dan seksi sekali malam ini...besok kita berpisah, aku pasti kehilangan sekali. Kalau kamu mau kita lanjutin pertemuan di kamar yuk...aku mau lebih dari sekedar ngobrol... mm...aku mau peluk kamu... aku juga mau cium kamu...boleh kan... aku mau membelai kamu... aku mau bercinta dengan kamu malam ini... aku mau ini jadi malam yang spesial buat kita berdua sebelum kita berpisah..." kataku merayunya. Ibu Dian seperti yang sudah kuduga tidak menolak, "Kenapa enggak Don...aku juga mau, kamu tidur di kamarku aja malam ini ya...?" Mendengar jawaban tersebut langsung kukecup lembut bibirnya selama beberapa saat.

Seolah tidak ingin membuang waktu, setelah membayar bill Ibu Dian langsung mengajakku ke kamarnya di lantai lima. Tidak seperti para peserta workshop, sebagai seorang trainer dari perusahaan Ibu Dian mendapat jatah kamar sendiri, kelas eksekutif. Di dalam lift hanya kami berdua, aku dan Ibu Dian sudah tidak sabar menunggu sampai kamar, kami mulai bercumbu di dalam lift. Seperti ingin meluapkan hasrat yang lama terpendam, Ibu Dian langsung memainkan lidahnya dan meraba daerah selangkanganku. Aku langsung menyambutnya dengan menjulurkan lidahku sedalam mungkin untuk melayani permainan lidah Ibu Dian sementara tanganku meremas-remas payudaranya yang hangat dan lembut. Sayangnya tidak lama kemudian bel berbunyi menandakan kami sudah sampai di lantai lima.

Kami langsung bergegas menuju kamar Ibu Dian. Begitu tiba di kamar, Ibu Dian langsung mengajakku mandi bareng. Aku begitu takjub melihat kemolekan tubuh Ibu Dian yang masih tampak kencang dan sexy. Sambil bermandikan pancuran air hangat dari shower, aku menyabuni tubuh Ibu Dian dan Ibu Dian sebaliknya juga menyabuni aku. Tidak lupa kami saling merangsang organ sensitif masing-masing, aku meremas payudara Ibu Dian sementara Ibu Dian terus meremas dan mengocok-ngocok penisku yang sudah sangat tegang.

"Kita ke tempat tidur sekarang ya Don... punyamu sudah keras...aku kepengen banget ngerasain punya kamu..."
"Iya sayang... aku juga... aku mau jilat punya Dian ya..."

Aku rebahkan tubuh Ibu Dian di tempat tidur, kukangkangkan kaki Ibu Dian sehingga belahan vaginanya yang tertutup bulu-bulu agak tebal tampak terlihat kemerahan. Tidak tahan melihat pemandangan erotis yang sangat merangsang syahwat, aku langsung menjilati vagina Ibu Dian yang sudah basah oleh lendir. Ibu Dian mengerang keenakan dan kakinya terasa bergetar menahan nikmat, Libidonya yang terpendam mulai menemukan jalan keluar untuk dipuaskan, hanya beberapa menit setelah kujilati vaginanya Ibu Dian sudah mulai tidak bisa menahan diri.

"Oh...aaah... Doni...enak banget...aduuuh... udah lama aku nggak ngerasain yang kayak gini...aduuuh...mmmhhh...terus Don...."

Desahan Ibu Dian membuatku tambah semangat, sambil terus kujilati vagina dan klitorisnya, tanganku juga meremas-remas payudara Ibu Dian yang kenyal. Tidak berapa lama kemudian Ibu Dian mulai bergerak tidak terkontrol saat aku menghisap-hisap dan mempermainkan klitorisnya dengan lidahku. Tangannya mencengkeram keras kepalaku.

"Aduh Don...mmh... aku nggak tahan... mau keluar... aduuuh...."
"Keluarin sayang...keluarin aja.... biar puass..."
"Aaaagh...addduuuh...mmhhh... ooohh....... ooohhhh... Doniiii....aghh..."

Ibu Dian menggelinjang hebat sambil menekan kepalaku lebih keras. Tidak berapa lama kemudian Ibu Dian terkulai lemas tanda sudah menikmati orgasmenya. Vaginanya semakin merah dan basah oleh cairan orgasme. Mata Ibu Dian terpejam sementara mulutnya sedikit membuka seolah masih menikmati sisa-sisa orgasmenya. Aku kecup ringan bibirnya. Tidak berapa lama kemudian Ibu Dian membuka mata dan tersenyum nakal.

"Sekarang gantian aku yang isep punyamu ya Don..."
"Iya sayang.. aku juga sudah pengen...."

Ibu Dian langsung bangkit dari tidurnya dan memposisikan dirinya di antara selangkanganku. Dikulumnya penisku yang sudah mengeras sejak tadi. Ibu Dian cukup mahir juga melakukan blow-job, sambil mulutnya menghisap penisku lidahnya terus melilit-lilit kepala penisku dan sesekali dia menjilat-jilat seluruh batang penisku lalu mempermainkan lubangnya sambil tangannya meremas-remas buah pelirku dengan lembut sehingga membuat seluruh tubuhku bergetar menahan rasa nikmat.

"Aduh Dian... enak sayang... kamu pintar sekali... aku belum pernah ngerasain yang kayak gini sayang.....beneran.. enak banget sayang...uuuh...."

Ibu Dian hanya tersenyum mendengar pujianku, blow-jobnya makin menggila membuat penisku terasa mengeras lebih dari biasanya. Boleh dikatakan aku sangat jarang bisa orgasme dengan oral-sex seperti ini, selama beberapa tahun terakhir bisa dihitung jari mungkin. Dan itupun biasanya setelah waktu yang lama, di atas 15 menitan. Tapi blow-job Ibu Dian memang luar biasa, tidak sampai 5 menit aku mulai merasakan getaran-getaran yang menandakan akan datangnya orgasme.

"Dian... kayaknya udah mau keluar...aduuuh... enak banget....ahhh... Diaan..."
"Mmh...keluarin sayang... keluarin aja... aku tampung di mulut... "
"Agh... Diaaaan...aduuuh.. nggak tahan... agggh... aghh....oooooooohhh....."

Cret..cret.. terasa penisku menembakkan seluruh muatannya ke dalam muliut Ibu Dian yang terus menghisap hebat penisku. Seluruh badanku terasa bergetar dan terbang melayang entah kemana... Belum pernah aku merasakan blow-job senikmat ini. Ibu Dian masih terus menghisap penisku yang sudah kehabisan amunisi, dia tampak juga sangat menikmati. Ibu Dian baru melepaskan penisku setelah benar-benar lemas dan kehabisan tenaga. Sebagian besar spermaku tampak ditelannya, hanya ada sedikit sisa-sisa sperma yang menetes dari bibirnya. Setelah membersihkan sisa-sisa sperma di sekitar mulutnya Ibu Dian berbaring di sampingku dan mengecup bibirku. Kami berpelukan sambil memulihkan tenaga yang terkuras.

Tidak berapa lama kemudian tenagaku terasa mulai pulih. Dekapan hangat tubuh telanjang Ibu Dian membuat libidoku mulai naik lagi. Tanganku mulai merayap ke arah selangkangannya dan jari-jariku mempermainkan celah vagina Ibu Dian yang hangat dan terasa masih basah oleh lendir. Ibu Dian merespon dengan meremas-remas penisku yang juga mulai menegang.

"Masukin ya Don...aku pengen ngerasain punya kamu di dalam, bawa kondom kan?"
"Ah.. maaf, aku nggak bawa... nggak apa-apalah, nanti di keluarin di luar..."
"Yah... aku lebih suka dikeluarin di dalam tapi pake kondom... lebih terasa..."
"Mmm... ok.. kalau begitu aku ambil dulu ke kamar ya..."
"Jangan lama-lama... aku tunggu ya sayang....."

Aku segera berpakaian dan bergegas menuju kamarku. Sampai di depan kamar aku memasukkan kunci dan membuka pintu. Tapi rupanya Joko memasang gerendel pintu dari dalam sehingga pintu kamar tidak bisa sepenuhnya terbuka.

"Joko..Joko... tolong bukain pintu,, kenapa dikunci dari dalam sih... ini aku... "
"Ooh... bentar Don...aduuh... aku kira kamu nggak tidur disini..."

Sepintas kulihat bayangan Joko melompat dari tempat tidur, suara Joko terdengar agak panik. Dan setelah itu sepertinya dia berbisik-bisik entah dengan siapa lalu kudengar suara kaki bergerak terburu-buru seperti setengah berlari. Tampaknya ada orang lain di kamar itu selain Joko. Pintu terbuka dan tampak Joko dengan t-shirt dan celana yang agak berantakan seperti terburu-buru dipakai. Langsung aku sadar kalau Joko tengah membawa seorang wanita di kamar.

"Ada siapa di kamar Jok? Udah bilang aja.. nggak apa-apa kok, aku nggak tidur di sini malam ini, cuma mau ngambil barang di tas aja...," kataku sambil melirik ke arah kamar mandi yang tertutup.

Joko cuma cengar-cengir malu-malu sambil mengetuk kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dan tampaklah Sinta yang tersenyum kecut malu-malu dengan pakaian seadanya, wajahnya agak pucat seperti maling tertangkap basah. Aku langsung mengerti situasinya, tanpa banyak kata-kata aku langsung mengambil sekotak kondom di tasku dan keluar dari kamar.

"Ok Joko, Sinta, kita ketemu besok di tempat sarapan ya... enjoy yourself... aku mau tidur di kamar Ibu Dian malam ini...."

Joko tampak merasa lega, tapi Sinta terlihat masih tegang. Dia tahu kalau aku kenal suaminya dan tentu sangat khawatir kalau-kalau aku memberitahu suaminya perihal perselingkuhan ini. Tapi aku tidak terlalu memikirkan soal itu, yang terpikir saat itu hanya keinginanku untuk segera menikmati tubuh Ibu Dian.

Kuketuk kamar Ibu Dian, dan ia langsung membukakan pintu. Ibu Dian tampak mengenakan daster.

"Ih.. aku kira nggak balik..., " katanya manja.
"Mana mungkin nggak balik sayang.... aku pengen banget making-love dengan kamu malam ini... nggak mungkinlah acara puncak malah dilewatkan... bisa nyesel aku..."

Langsung kucumbu bibir Ibu Dian dengan penuh nafsu. Tanganku mengangkat dasternya dan meremas-remas pantat Ibu Dian yang montok. Ternyata Ibu Dian tidak memakai apa-apa di balik dasternya. Aku segera melepas seluruh pakaianku sementara Ibu Dian juga melepaskan dasternya dan mengajakku ke tempat tidur, kami kembali bercumbu dengan hangat sambil saling meremas-remas.

"Mmmhh... pisangnya sudah keras... mau dimasukin sekarang?" tanya Ibu Dian.
"Iya.. mau.. tapi bentar aku pake kondom dulu..."
"Jangan... nanti aja kalau sudah mau keluar, sekarang langsung dimasukin aja...biar lebih terasa... "

Langsung kubuka paha Ibu Dian dan kuarahkan penisku ke lubang vaginanya yang tampak basah. Bleessss...dengan sentakan lembut penisku terbenam di dalam lubang vagina Ibu Dian yang hangat. Mata Ibu Dian terpejam dan mulutnya berdesah-desah menahan nikmat. Sambil terus menusukkan penisku berulang-ulang aku menjilati leher dan telinga Ibu Dian sambil tanganku meremas-remas payudaranya sehingga membuatnya menggelinjang. Beberapa menit kemudian kami berganti posisi. Ibu Dian membalikan badannya dan mengambil posisi nungging. Belahan vaginanya tampak jelas dan sangat mengundang birahi. Langsung kuarahkan penisku masuk ke dalam liang vagina Ibu Dian. Tampaknya dia sangat menikmati posisi ini, tidak henti-hentinya mulut Ibu Dian berdesah-desah mengekspresikan kenikmatan yang dirasakannya setiap kali aku menusukkan penisku.

"Oooh...aaahhh...mmh... Doni... mmhh.... aaahhh... mmmhhh.... ooohh... tusuk yang kuat sayang... enak... ooh... rasanya punya Doni mentok sayang... aduh... enak banget... aaaahhh..."

Setelah kurang lebih lima menitan dalam posisi ini kamipun berganti posisi lagi. "Gantian aku yang di atas ya... ," kata Ibu Dian. Dalam posisi ini Ibu Dian semakin menampakkan keganasannya. Seolah tidak mau kehilangan penisku, Ibu Dian terus menggiling-giling penisku yang tertancap dalam di vaginanya dengan ganas tanpa sedikitpun melepaskan cengkeramannya. Liang vagina Ibu Dian terasa kuat menjepit penisku. Aku hanya bisa pasrah menikmati sensasi luar biasa vagina seorang janda yang haus kenikmatan sambil tanganku terus meremas-remas payudaranya yang menggantung indah.

"Aduuhhh Doni... enak.. aahh..aku bisa keluar sebentar lagi...."
"Iya sayang aku juga mulai nggak tahan..."
"Mau pake kondom sekarang sayang...? Biar bisa dikeluarin di dalam...."

Aku mengangguk, Ibu Dian langsung melepaskan penisku dari cengkeraman vaginanya dan berbaring di sampingku. Setelah kupasang kondom langsung kumasukkan panisku kembali ke lubang vagina Ibu Dian yang sudah makin merah menanti untuk dipuaskan. Kami berdua sudah betul-betul dekat dengan puncak kenikmatan. Ibu Dian yang kini ada di posisi bawah menggelinjang hebat setiap kali aku menusukkan penisku dalam-dalam. Akupun merasakan gelombang orgasme sedang mulai terbentuk, aku menusukkan penisku makin cepat dan makin dalam sehingga menimbulkan suara kecipak yang berirama.

"Ahh... Doniii... aku mau keluaaar.... mmmh Doni... addduuuuh...yang keras... terusss...teruuuss... aduuuhhh... ooohhh...aaaaggghhhhh......."
"Ooh Dian...aahh...aku keluaarrr sayang...... aaaghhh...aagghhh"

Srr...srr... terasa penisku memuntahkan sperma. Aku langsung terkulai lemas di atas tubuh Ibu Dian yang juga lemas setelah merasakan orgasmenya. Kulepaskan penisku yang mulai melemas karena tenaganya terkuras oleh kenikmatan orgasme yang luar biasa. Ibu Dian langsung meraih penisku dan melepaskan kondom yang membungkusnya, diamatinya sejenak spermaku yang tertampung di dalamnya sebelum di buang ke tempat sampah.

"Hmm.. banyak juga ya.... "
Aku cuma tersenyum, "Iya... memangnya kenapa...?"
"Nanti mau lagi...?" tanya Ibu Dian manja menggoda.
"Boleh... tapi istirahat dulu ya... "

Setelah beristirahat sambil berpelukan selama kurang lebih 15 menit, Ibu Dian kembali mengajakku untuk melanjutkan permainan. Kamipun kembali bergumul dengan berbagai posisi sampai kami berdua akhirnya terpuaskan dan betul-betul merasa lelah.

Aku terbangun kira-kira jam setengah delapan pagi dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku bangunkan Ibu Dian dengan mengusap-usap vaginanya yang terasa hangat sambil menciumi lehernya. Pagi itu kami bercinta lagi dua kali, sekali di tempat tidur dan berikutnya di kamar mandi. Tapi karena kehabisan kondom, yang di kamar mandi spermaku kukeluarkan di luar. Benar-benar kami berdua merasa puas. Workshop yang diadakan perusahaanku kali ini betul-betul sangat berkesan buatku, dan mungkin juga buat Ibu Dian. Sebelum kami berpisah Ibu Dian memintaku untuk datang ke Semarang jika ada waktu. Dia memberiku kartu nama dan menuliskan sebuah nomor HP tambahan di baliknya. "Ini nomor khusus urusan pribadi dan keluarga...," kata Ibu Dian. Tentu saja aku tidak menolak tawaran luar biasa ini.